Thursday, June 22, 2006

Kita dan alam

Melihat sebuah iklan pembersih lantai, kok jadi mikir ya. Disitu diperlihatkan seorang ibu yang sangat khawatir melepaskan anaknya bermain di lantai proselen yang putih dan mengkilat. Seingatku dulu, setiap kali subuh2 aku menjalankan rutinitas menyapu halaman depan, bayi tetangga selalu ikut nimbrung disitu mengelesot bermain di tanah. Biasanya sang ibu lagi sibuk di dapur, makanya bayinya diletakkan saja disitu, toh ada aku yang ikut mengawasi sambil bersih2. Loh apa sang ibu tidak ada kekhawatiran seperti ibu yang pertama…ah yang namanya ibu dimana2 pasti sama, protektif sama bayinya.

Aku jadi bertanya pada diri sendiri, sejak kapan aku memutuskan hubungan dengan alam. Kaki ini semakin kedepan sudah semakin tidak bisa ndlamak lagi ke tanah, tanpa sandal atau sepatu kerikil-kerikil kecil itu sudah seperti bala tentara yang menyerbu telapak kaki. Padahal dulu berjalan diatas bongkahan2 tanah di sawah pun masih dengan bertelanjang kaki. Mungkin akan ada yang menyeletuk “ya edan saja kalo berani-beraninya ndlamak bertelanjang kaki, lihat saja jalanan di depan rumah itu, kena tahi kucing baru tahu rasa, belum lagi sampah2 sisa banjir yang bertebaran.. walah padahal itu kan sisa dari got disampingnya yang sebegitu nggilaninya”. Kasihan bener sang alam, sudah didholimi sedemikian rupa eh masih saja dipandang jijik. Kasihan juga si kucing, sudah tidak dikasi sisa tempat lagi untuk mengubur tahinya, sekarang ikut dipersalahkan. Trus suara-suara akan menyeletuk lagi “toh bukan saya yang membuat jadi seperti ini, wong saya datang juga sudah menjadi nggilani seperti ini”. Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa kita tidak pernah berhenti untuk menyakiti. Paling komentarnya lagi “halah wong sudah kadung juga, satu tindakan dari kita tidak akan menyumbang apa2”. Setidaknya akan lebih baik kalau tidak menyumbang masalah.

Mungkin karena perilaku kita ini, alam juga memutuskan untuk memunggungi kita, sehingga suara2 gumamnya pun tidak jelas lagi kita dengar. Tiba-tiba saja tanganya sudah menempeleng kita dengan kejadian banjir bandang menelan ratusan jiwa. Lain waktu kakinya menendang dengan longsoran sampah yang menelikung ketika kita terlelap. Dan di satu saat.. gempa maha dahsyat menelan begitu banyak jiwa.

Kita tidak harus seperti kiai jogo sang pawang hutan yang satu kali pernah diceritakan Umar Kayam dalam bukunya “para priyayi”, yang untuk mengambil kayu buat tiang tiang pendopo saja harus minta ijin dulu ke hutan dan kayu itu sendiri, dan kemudian kayu itu akan meliuk2 tanda setuju, dan jadilah nanti sebuah tiang yang kokoh mengabdi karena sang kayu sudah legowo dipinang untuk dijadikan tiang. Kita cukup mengerti bahasa2 fitrah alam yang biasa2 saja, misalnya kalau membuang kulit pisang, sembarangan pada suatu saat akan ada yang terpeleset karenanya, atau kalau kita menebang hutan sembarangan tanpa perhitungan maka akan bisa menyebabkan anjir. Sehingga pada akhirnya kita akan bisa mesra lagi dengan alam. Tidak ada yang saling menyakiti.

Tidak mungkin tidak ada yang tahu bahasa2 seperti ini, tapi kita sudah terlanjur membutatulikan diri untuk mendengarkannya.

4 Comments:

At 7:28 PM , Anonymous Anonymous said...

Masalah ke'gilo'an saya agak tergelitik untuk ikut berkomentar.

Bagi kita-kita yang sudah memiliki momongan, mungkin sudah pernah merasakan yang namanya diompoli or whatever else lah ..., nah disinilah letak keheranan saya, bagaimana mereka bukannya menjadi jijik dan dan dengan tiba-tiba melemparkan sang momongan atau apalah sebagai bentuk keterkejutan dan kejijikannya, yang ada dari mereka mungkin justru malah tersenyum dan kadang malah berceloteh "anak pintar ..." sebagai ekspresi kebahagiaannya.
Bayangkan pemirsa ... sebutan "anak pintar" ?? bagi kami-kami yang belum pernah merasakannya ini bahkan mungkin malah akan menimpali "pintar dari mananya ?? ngompol kok pintar ?!" sambil geleng-geleng kepala "ahh .. dunia memang sudah terbalik ... atau malah mungkin kitalah yang terbalik ??" :)

yah ... mungkin karena cinta, cinta bisa membuat seseorang menjadi buta, bukan buta dalam arti sebenarnya, hanya kita menjadi sulit membedakan segala sesuatu, yang kelihatan hanya sesuatu yang indah saja. Bahkan seperti yang yang pernah di ungkapkan oleh Gombloh, salah seorang musisi bangsa ini "tahi kucing rasa coklat" ya ... begitulah memang sifatnya cinta, peredam rasa sakit, peredam rasa pahit, peredam derita.

Dan tentu saja seperti juga yang lainnya, ini sangat berguna jika digunakan dalam dosis yang tepat, jangan berlebihan pun jangan kekurangan.

Nah ... sebagaimanapun dengan alam, apakah kita akan melihatnya sebagai sesuatu yang layak untuk di cintai atau tidak ?? kalau kita bisa melihat Alam sebagai seorang penyanyi yang cukup berbakat maka kita akan bisa menikmati nyanyian-nyanyiannya, hmm ... kok kayaknya saya nyelonong terlalu jauh yah ... ini kan topiknya tentang alam yang alam bukan alam yang penyanyi ... hehehe ... sorry. Walaupun juga perlu saya pesankan dengan sangat kepada mbakyu Sand, jangan terlalu mengikuti apa yang di bilang oleh sang maestro "Gombloh", tahi kucing yang di depan rumah sampean cukup disapu saja, jangan sampai dianggap coklat :).

relatif ... yaa ... sangat-sangat relatif, dunia ini mungkin memang sangat tergantung bagaimana kita melihatnya.

-- sang relativis --

 
At 5:38 PM , Blogger sand said...

woww... swerr arek2 sby kudu ngerti komentarmu ttg cinta & momongan, yakin semua pada mlongo... he he he yang bener saja tahi kucing kok rasa coklat. ups.. gak bisa juga aku bilang begitu seharusnya, wong aku sendiri blum pernah mencicipi, sapa tahu memang rasa coklat ya ??

 
At 9:06 AM , Anonymous Anonymous said...

ndak niat komentar tentang cinta tadi itu sakjan-nya mbak ... cuman kebetulan aja tersangkut dan terpaut ... jadi yaa ... apa mau dikata.
hanya berbagi pemikiran tentang apa yang saya ketahui aja mbak ... walau sebenarnya kalau untuk sampean sendiri mungkin nggak sebegitu perlu dan mathuk, wong analisanya sampean tentang kehidupan lebih canggih je ... hehehe ...
jangan dikira ini sebuah pujian, bisa aja cuman sebuah jebakan dari seorang saingan, saingan analist maksud-e :D
tapi saingan atau apapun itu saya merasa bangga bisa satu marga dengan sampean, mbakyu "sand said" :)

 
At 4:24 PM , Blogger Pinkina said...

wong loro iki kok rukun men yha :-/

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home