Thursday, June 29, 2006

Me .. today

Kali ini saya akan egois untuk memikirkan diri sendiri... biar..

"tiba tiba saja... pengen pulang .. wis wit wingi sih".

Seorang teman kirim message "statusmu nggarai aku gak pengen metu tko sby ae".

lalu aku jawab
"he he he I'm so sorry"
"the fact is.. its not that simple anymore"

kalo jawabnya pake inggrisan gitu tandanya sudah pengen melo saja bawaannya.. yah, beberapa hari memang rasanya kaya begitu. pengen pulang. aku bisa bayangkan komentar beberapa org yang ga percaya aku bisa begini "cewek tanpa perasaan itu ???". Ga tau juga bisa secengen ini.. Cengeng he he keluar dari seorang sahabat satu kali di telepon "lho.. kok jadi cengen begitu sekarang".

aku pengen pulang... ke pelukan emak. Ya Allah.. kali ini aku benar-benar pengen cengeng.. boleh kan ??

****apa yang dapat menghalangimu untuk memberi ? ketiadaan ? kelemahan ? tidak.. hanya dirimu sendiri, so keep smiling what ever inside your heart

Thursday, June 22, 2006

Kita dan alam

Melihat sebuah iklan pembersih lantai, kok jadi mikir ya. Disitu diperlihatkan seorang ibu yang sangat khawatir melepaskan anaknya bermain di lantai proselen yang putih dan mengkilat. Seingatku dulu, setiap kali subuh2 aku menjalankan rutinitas menyapu halaman depan, bayi tetangga selalu ikut nimbrung disitu mengelesot bermain di tanah. Biasanya sang ibu lagi sibuk di dapur, makanya bayinya diletakkan saja disitu, toh ada aku yang ikut mengawasi sambil bersih2. Loh apa sang ibu tidak ada kekhawatiran seperti ibu yang pertama…ah yang namanya ibu dimana2 pasti sama, protektif sama bayinya.

Aku jadi bertanya pada diri sendiri, sejak kapan aku memutuskan hubungan dengan alam. Kaki ini semakin kedepan sudah semakin tidak bisa ndlamak lagi ke tanah, tanpa sandal atau sepatu kerikil-kerikil kecil itu sudah seperti bala tentara yang menyerbu telapak kaki. Padahal dulu berjalan diatas bongkahan2 tanah di sawah pun masih dengan bertelanjang kaki. Mungkin akan ada yang menyeletuk “ya edan saja kalo berani-beraninya ndlamak bertelanjang kaki, lihat saja jalanan di depan rumah itu, kena tahi kucing baru tahu rasa, belum lagi sampah2 sisa banjir yang bertebaran.. walah padahal itu kan sisa dari got disampingnya yang sebegitu nggilaninya”. Kasihan bener sang alam, sudah didholimi sedemikian rupa eh masih saja dipandang jijik. Kasihan juga si kucing, sudah tidak dikasi sisa tempat lagi untuk mengubur tahinya, sekarang ikut dipersalahkan. Trus suara-suara akan menyeletuk lagi “toh bukan saya yang membuat jadi seperti ini, wong saya datang juga sudah menjadi nggilani seperti ini”. Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa kita tidak pernah berhenti untuk menyakiti. Paling komentarnya lagi “halah wong sudah kadung juga, satu tindakan dari kita tidak akan menyumbang apa2”. Setidaknya akan lebih baik kalau tidak menyumbang masalah.

Mungkin karena perilaku kita ini, alam juga memutuskan untuk memunggungi kita, sehingga suara2 gumamnya pun tidak jelas lagi kita dengar. Tiba-tiba saja tanganya sudah menempeleng kita dengan kejadian banjir bandang menelan ratusan jiwa. Lain waktu kakinya menendang dengan longsoran sampah yang menelikung ketika kita terlelap. Dan di satu saat.. gempa maha dahsyat menelan begitu banyak jiwa.

Kita tidak harus seperti kiai jogo sang pawang hutan yang satu kali pernah diceritakan Umar Kayam dalam bukunya “para priyayi”, yang untuk mengambil kayu buat tiang tiang pendopo saja harus minta ijin dulu ke hutan dan kayu itu sendiri, dan kemudian kayu itu akan meliuk2 tanda setuju, dan jadilah nanti sebuah tiang yang kokoh mengabdi karena sang kayu sudah legowo dipinang untuk dijadikan tiang. Kita cukup mengerti bahasa2 fitrah alam yang biasa2 saja, misalnya kalau membuang kulit pisang, sembarangan pada suatu saat akan ada yang terpeleset karenanya, atau kalau kita menebang hutan sembarangan tanpa perhitungan maka akan bisa menyebabkan anjir. Sehingga pada akhirnya kita akan bisa mesra lagi dengan alam. Tidak ada yang saling menyakiti.

Tidak mungkin tidak ada yang tahu bahasa2 seperti ini, tapi kita sudah terlanjur membutatulikan diri untuk mendengarkannya.

Wednesday, June 07, 2006

Dongengan simbok

Sudah sewajarnya kalau anak kecil akrap dengan yang namanya dongeng. putri salju, cinderela, pangeran kodok, putri angsa... bukan cerita yang asing lagi. waktu saya kecil.. walaupun anak desa boleh dibilang akrab juga dengan yang namanya dongeng, tapi bukan dongeng2 yang saya sebutkan diatas. Cerita2 yang biasa saya dengarkan antara lain kleting kuning & ande-ande lumut (cinderela versi jawa), putri timun mas, ajisoko dan dewotocengkar, menak jinggo dan damarwulan sampai cerita mbok rondo dan pak dudo serta kisah derita si-penulis. Yang terakhir limited edition spesial karangan buyutnya-embahnya leluhur dari embok (ibunya bapak) saya, jadi nggak heran kalu jarang dimengerti orang kebanyakan. tentu saja yang berfikir itu adalah cuman karangan ya saya sendiri setelah gede begini, karena simbok tetep saja bilang "hoooalahh ... jaman dulu itu kok ya ada ya orang yang punya lelakon mengenaskan kayak begitu".

Dongeng-dongeng itu pun diceritakan dalam rangka yang sedikit berbeda dengan dongeng2 model pertama, kalo yang model pertama wajarnya didongengkan untuk pengantar tidur, kalau yang model kedua, model dongengan2 saya, diceritakan sebagai opah pijet, imbalan karena saya sudah mau memijit atau tepatnya meng-idak-idak punggungnya embok. Sampai-sampai sepupu saya yang waktu itu sudah gede duluan selalu mengenyek2 "hoalah mau saja dibohongi, wong opah kok opah dongeng", setiap kali saya pun hanya mencibir dan membatin "kasihann deh yang nggak ikut didongengi", walaupun kedepan saya merasa bener juga pendapat sepupu saya itu dan terpaksalah embok harus menambahkan uang 50 rupiah disamping dongengnya itu.

Karena dongeng itu, setiap kali main-main di sungai saya selalu mencari daun dadap karena kabarnya salah satu tokoh di dongeng itu bisa ngambang di sungai dengan menaiki daun dadap, jadilah selalu saya naikin daun dadap itu, tapi ya nggak pernah bisa ngambang. Begitu juga dengan menghisap daun blimbing, katanya bisa ngilang. Hawong saya nggak sesakti tokoh2 di dongeng itu tho.. itu yang saya lupa.

Bagaimanapun sederhananya karena dongeng itu saya jadi pinter berimajinasi, kalau lihat di TV kan kita tidak usah sibuk2 membayangkan seting-nya lha ini cukup dengan cerita saja, selebihnya ya harus dirangkai sendiri bayangan2 latar dari cerita itu. Kalau sekarang.. apa ya masih ya kebiasaan orang-orang tua untuk mendongengi buah hatinya, atau cukup diserahkan ke film2 kartun di TV aja yang lebih berwarna-warni dan lebih merak ati, lah.. kapan berimaginasinya kalau semua serba sudah disuguhkan?.. ehh.. apa ya saya besok akan gemar mendongengkan anak2 saya ya ??